reader.chapter — Darah dan Cahaya Bulan
Aria Sinclair
Bulan purnama menggantung rendah di langit, memancarkan cahaya menakutkan di atas kuburan tua yang berbatasan dengan perkebunan Sinclair. Aria berjongkok di balik batu nisan yang lapuk, jantungnya berdebar kencang. Udara malam yang dingin membawa aroma dedaunan yang membusuk dan hal lainnya—sesuatu yang liar dan berbahaya yang membuat sarafnya gelisah.
Dia seharusnya tidak berada di sini. Pertengkaran dengan ayahnya beberapa jam sebelumnya masih terngiang-ngiang di telinganya. "Kamu tidak mengerti apa yang kamu lakukan, Ayah!" dia berteriak, rasa frustrasi mewarnai kata-katanya.
Mata ayahnya menatap dengan gugup ke jendela. "Cukup, Aria," dia memotongnya. “Ada hal-hal yang tidak kamu mengerti. Hal-hal yang telah saya lakukan untuk melindungi keluarga ini.”
Kini, saat suara-suara teredam dan derak langkah kaki di atas kerikil terdengar sepanjang malam, Aria mengutuk keputusannya untuk keluar. Ada yang tidak beres. Dia menggenggam liontin perak halus pemberian ibunya, logam dingin yang sangat kontras dengan telapak tangannya yang lembap.
Sebuah ranting patah di dekatnya. Napas Aria tercekat di tenggorokannya saat dia mendekatkan dirinya ke batu yang dingin. Bulu kuduknya berdiri tegak, naluri dasarnya meneriakkan bahaya.
"Kau punya kesempatan, Sinclair," terdengar suara rendah yang mengancam. “Alpha tidak mentolerir pengkhianatan.”
Alfa? Kata itu membangkitkan kenangan akan dongeng lama neneknya—cerita tentang monster yang berjalan seperti manusia di bawah cahaya bulan purnama. Aria menggelengkan kepalanya, menepis pemikiran khayalan itu meski rasa tidak nyaman melingkari perutnya.
Geraman sedih ayahnya menembus malam. "Tolong, aku bisa menjelaskannya. Beri aku lebih banyak waktu—"
Suara daging yang memuakkan membentur daging menghentikan permohonannya. Aria menggigit bibirnya untuk menahan napas, rasa logam dari darah membanjiri mulutnya. Air mata menyengat matanya saat dia mengintip ke sekeliling tepi batu nisan, putus asa ingin melihat apa yang terjadi.
Di bawah sinar bulan, dia bisa melihat beberapa sosok di sekeliling ayahnya. Bahkan dari jarak sejauh ini, dia melihat darah menetes di wajahnya. Tapi pria yang berdiri tepat di depannya itulah yang membuat Aria merinding.
Dia tinggi, mengenakan setelan jas rapi yang tampak bertentangan dengan lingkungan suram mereka. Matanya menarik perhatian Aria—bola dingin berwarna abu-abu baja yang tampak bersinar di bawah sinar bulan. Ada sesuatu... yang tidak manusiawi pada diri mereka.
"Waktumu sudah habis, teman lama," kata pria itu, suaranya merupakan campuran sutra dan baja. “Kamu tahu konsekuensi melintasi kelompok Blackwood.”
Sebelum Aria dapat memproses apa yang terjadi, udara dipenuhi geraman dan geraman yang lebih terdengar seperti binatang daripada manusia. Yang membuatnya ngeri, dia menyaksikan pria di sekitar ayahnya mulai berubah. Tulang retak dan terbentuk kembali, pakaian robek saat bulu tumbuh di seluruh tubuh mereka. Hanya dalam hitungan detik, di tempat manusia berdiri, kini serigala-serigala besar menggeram dan membentak.
manusia serigala. Kata itu terlintas di benak Aria, sebuah konsep yang sangat absurd hingga dia hampir tertawa meski teror mencekam hatinya. Tapi tidak dapat disangkal bukti di depan matanya. Dunia yang dia pikir dia kenal runtuh di sekelilingnya, digantikan oleh sesuatu yang lebih gelap dan lebih mendasar.
Jeritan ayahnya menembus malam saat para serigala mendatanginya. Aria menutup mulutnya dengan tangan untuk meredam tangisannya sendiri, air mata mengalir di wajahnya saat dia menyaksikan serangan brutal itu. Dia ingin memalingkan muka, berlari, tapi tubuhnya menolak untuk menurut. Sebagian kecil pikirannya yang pengkhianat membisikkan bahwa ini adalah kesalahan ayahnya, bahwa rahasia ayahnya telah menyebabkan kejadian ini. Dia menyingkirkan pikiran itu, merasa muak pada dirinya sendiri.
Di tengah semua itu, pria dengan mata abu-abu baja itu berdiri tak bergerak, mengamati pembantaian itu dengan sikap acuh tak acuh. Seolah merasakan tatapannya, kepalanya sedikit menoleh, matanya terpaku pada mata Aria di seberang kuburan.
Sentakan teror murni melanda dirinya. Dia melihatnya. Dia tahu dia ada di sana.
Bibir pria itu membentuk senyuman kejam, memperlihatkan gigi-giginya yang tampak terlalu tajam untuk ukuran manusia. Dengan sedikit anggukan kepala, dua serigala melepaskan diri dari hiruk pikuk berdarah dan mulai berlari menuju tempat persembunyian Aria.
Pelestarian diri akhirnya mengatasi kelumpuhannya. Aria bergegas berdiri, hampir terpeleset di rerumputan yang licin karena embun saat dia berlari lebih jauh ke dalam kuburan. Suara cakaran yang berat dan nafas yang terengah-engah terdengar dari belakang.
Paru-paru Aria terasa terbakar saat dia berlari, berjalan di antara batu nisan dan melompati tembok rendah. Dia bisa mendengar serigala-serigala itu mendekatinya, dengusan mereka yang bersemangat mengirimkan gelombang teror baru ke seluruh tubuhnya. Dunia menjadi kabur di sekelilingnya, berkurang menjadi detak jantungnya dan kebutuhan mendesak untuk melarikan diri.
Saat dia merasakan nafas panas di bagian belakang kakinya, kaki Aria tersangkut pada akar yang terbuka. Dia terjatuh ke depan, menangis ketika lutut dan telapak tangannya bergesekan dengan batu kasar. Berguling telentang, dia mendapati dirinya menatap ke arah dua serigala besar, mata mereka berkilau karena kelaparan yang ganas.
Ini dia. Dia akan mati di sini, terkoyak seperti ayahnya. Tangan Aria melingkari pecahan nisan yang bergerigi, sebuah sikap menantang yang sia-sia.
Peluit tajam membelah udara malam. Yang mengejutkan Aria, para serigala itu segera mundur, telinga mereka menempel di kepala karena tunduk. Pria berjas itu muncul di belakang mereka, ekspresinya tidak terbaca saat dia menatap ke arah Aria.
"Yah, baiklah," katanya, suaranya sehalus sutra. “Apa yang kita punya di sini? Seekor tikus kecil, hilang di bawah sinar bulan.”
Aria ingin berbicara, memohon agar dia tetap hidup, namun teror telah mencuri suaranya. Dia hanya bisa menatapnya, gemetar. Cengkeramannya semakin erat pada pecahan batu itu, buku-buku jarinya memutih karena tegang.
Pria itu berjongkok, mendekatkan wajahnya dengan wajahnya. Sedekat ini, Aria bisa melihat bintik emas di mata abu-abu bajanya. "Sayang sekali," gumamnya sambil mengulurkan tangan untuk menyisir sehelai rambut dari wajahnya. Aria tersentak mendengar sentuhannya, kulitnya merinding. "Kau tidak seharusnya melihat semua ini, tikus kecil."
Dia berdiri, meluruskan jasnya. "Sayangnya, aku tidak punya jalan keluar apa pun. Bukan masalah pribadi, kau paham."
Saat dia berbalik, Aria akhirnya menemukan suaranya. "Mengapa?" dia tersedak, campuran kemarahan dan kesedihan mewarnai kata-katanya. “Mengapa kamu membunuhnya?”
Pria itu berhenti, melirik ke arahnya dari balik bahunya. Untuk sesaat, sesuatu seperti rasa ingin tahu muncul di matanya. "Ayahmu sudah membuat pilihan, sayangku. Dan pilihan... yah, ada konsekuensinya." Dia memiringkan kepalanya, mengamatinya dengan minat baru. “Saya ingin tahu pilihan apa yang akan Anda buat, setelah Anda melihat di balik tirai.”
Dengan lambaian tangannya, dia mulai berjalan pergi. “Lakukan cepat,” serunya pada para serigala. "Dan bersih."
Saat para serigala maju sekali lagi, pikiran Aria berpacu. Dia tidak bisa mati di sini. Dia tidak akan melakukannya. Dengan kekuatan yang sangat besar, dia berguling ke samping, nyaris menghindari rahangnya yang patah. Tangannya mengayunkan batu bergerigi itu dengan sekuat tenaga.
Senjata darurat itu terhubung dengan retakan yang memuaskan, membuat salah satu serigala terhuyung mundur sambil berteriak. Aria bergegas berdiri, adrenalin mengalahkan rasa sakit akibat luka-lukanya. Dia melihat sekilas wajah pria itu, keterkejutan dan sesuatu seperti persetujuan muncul di wajahnya sebelum dia menghilang ke dalam bayang-bayang.
Dia berlari.
Dia berlari sampai kakinya terbakar dan paru-parunya terasa seperti akan pecah. Dia berlari sampai suara pengejaran menghilang di kejauhan. Dia berlari sampai jalan-jalan yang familiar di lingkungannya berubah menjadi wilayah asing, kota yang luas menelan seluruh dirinya.
Baru pada saat itulah Aria membiarkan dirinya ambruk ke dinding gang, meluncur ke bawah dan duduk di atas beton yang dingin. Isak tangis menghantam tubuhnya saat beban penuh dari apa yang dia saksikan menimpanya. Liontin itu menempel di dadanya, sebuah pengingat menyakitkan atas semua yang telah hilang darinya.
Ayahnya sudah meninggal. Dibunuh oleh monster langsung dari mimpi buruk. Dan orang yang bertanggung jawab—orang dengan mata abu-abu baja itu—masih ada di luar sana. Pikiran Aria berputar-putar, mencoba mendamaikan dunia yang dia pikir dia kenal dengan kenyataan brutal yang baru saja dia saksikan.
Saat fajar pertama mulai menyelimuti cakrawala, air mata Aria akhirnya mereda. Sebagai gantinya, tekad yang dingin dan keras mengakar dalam hatinya. Dia tidak mengerti apa yang terjadi malam ini. Dia tidak tahu apa-apa tentang manusia serigala, alfa, atau kelompok Blackwood yang rupanya disilangkan ayahnya.
Tapi dia tahu satu hal dengan kepastian mutlak: dia akan membalas dendam.
Tidak peduli berapa lama waktu yang dibutuhkan, tidak peduli apa yang harus dia lakukan, Aria bersumpah dia akan membuat pria bermata abu-abu baja itu membayar atas perbuatannya. Dia akan menghancurkan seluruh dunianya, sama seperti dia menghancurkan dunianya.
Saat dia memaksakan diri untuk berdiri, meringis karena protes tubuhnya yang babak belur, Aria Sinclair bersumpah di tengah terangnya hari yang baru. Dia membuka liontin itu, memandangi wajah orangtuanya yang tersenyum, selamanya membeku dalam waktu yang lebih bahagia.
"Aku akan memperbaikinya," bisiknya, suaranya serak namun penuh tekad. "Saya berjanji."
Pria yang membunuh ayahnya akan menyesali hari ayahnya membiarkannya hidup. Aria tidak tahu caranya, tapi dia akan menemukan cara untuk menjatuhkannya. Bahkan jika itu berarti melangkah ke dunia supranatural yang gelap yang dia perintahkan.
Ketika kota mulai bergerak di sekelilingnya, Aria menegakkan bahunya dan mengambil langkah pertamanya ke dunia yang tidak lagi dikenalnya. Dunia dimana monster mengenakan pakaian mahal dan garis antara manusia dan binatang menjadi kabur di bawah cahaya bulan purnama. Di kejauhan, siluet Menara Blackwood menjulang di atas cakrawala, sebuah pengingat akan kekuatan dan pengaruh yang harus dia lawan.
Perburuan telah dimulai, dan Aria Sinclair menjadi predator sekaligus mangsa dalam permainan yang baru mulai dia pahami.